Nasional

Di Rakornas Lesbumi Gus Yahya Minta Jadikan Seni sebagai Instrumen Dakwah

Sel, 7 Mei 2024 | 15:12 WIB

Di Rakornas Lesbumi Gus Yahya Minta Jadikan Seni sebagai Instrumen Dakwah

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf saat membuka Rakornas Lesbumi di Yogyakarta, Ahad (5/5/2024) (Foto: Dok. Lesbumi)

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, meminta Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) tidak hanya menjadi tempat bagi para seniman dan pegiat kebudayaan untuk berkembang, tetapi juga sebagai wahana dakwah yang mempromosikan nilai-nilai Islam melalui karya-karya seni yang dihasilkan.
 

“Jadi, kesenian sebagai wahana dakwah. Kesenian sebagai instrumen dakwah. Jadi substansinya adalah dakwah, nilai-nilai agama. Kendaraannya kesenian,” kata Gus Yahya dalam pembukaan Peringatan Harlah LXIV dan Rakornas Lesbumi VI di Yogyakarta, Ahad (5/5/2024).
 

Ia mengungkap awal mula pembentukan Lesbumi dipandang penting oleh KH Abdul Wahab Hasbullah untuk menggalang para seniman dan pegiat kebudayaan dari generasi baru yang tengah mengembangkan aktivitas kesenian yang baru pada zamannya.
 

Beberapa figur penting seperti Usmar Ismail, sineas terkemuka pada masa itu, serta Djamaluddin Malik, seorang produser musik yang mengusung musik-musik baru, terlibat dalam proses awal berdirinya Lesbumi.
 

“Pada waktu itu, KH Abdul Wahab Hasbullah memandang perlu menggalang para seniman dan para pegiat kebudayaan dari generasi baru yang mengembangkan aktivitas kesenian baru,” tuturnya. “Maka pada waktu itu, direkrutlah untuk bergabung dengan NU orang-orang seperti Usmar Ismail, seorang sineas, seniman film. Orang-orang seperti Djamaluddin Malik, seorang produser musik-musik baru,” imbuhnya.
 

Gus Yahya juga mengakui bahwa mulanya, tidak sedikit kiai yang merasa kurang setuju dengan keikutsertaan seniman dan pegiat kebudayaan dalam tubuh NU melalui Lesbumi.
 

“Pada waktu itu sejumlah kiai protes, kenapa harus diajak orang macam begini. Mereka diwadahi ke dalam Lesbumi,” paparnya.
 

Namun, KH Bisri Mustofa membela keikutsertaan mereka dengan menyatakan bahwa mereka, meskipun dari latar belakang yang berbeda, adalah bagian dari NU.
 

“Salah satu pembelaan muncul dari KH Bisri Mustofa yang mengatakan, ‘Sudahlah kiai, walaupun mereka pemain ketoprak, mereka NU juga.’,” ungkapnya.
 

Ia menambahkan bahwa salah satu contoh konkret dari upaya dalam menghadapi tantangan zaman adalah inisiatif penciptaan musik yang pantas bagi santri pada saat musik barat sedang populer. Inisiatif ini menghasilkan musik samrah dengan lirik-lirik shalawat dan doa-doa, yang kemudian menjadi populer di kalangan santri.
 

“Itu ikhtiar kita menahan arus air dan kemudian secara sengaja terencana mengalirkannya dengan cara yang lebih konstruktif. Inisiatif ini seperti memberikan platform baru bagi penggemar musik di kalangan NU dan pesantren,” kata dia.
 

Gus Yahya juga menggarisbawahi bahwa tradisi salafus shalih di Nusantara memperlakukan kesenian sebagai media dakwah untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat.
 

“Para salafus shalih Nusantara ini memperlakukan dan memanfaatkan kesenian ini sebagai media dakwah memperkenalkan Islam,” jelas dia.
 

Oleh karena itu, Lesbumi sebagai lembaga seniman dan budayawan Muslimin Indonesia, mengutamakan penggunaan kesenian sebagai instrumen dakwah dengan substansi nilai-nilai agama.
 

“Bagaimana mendorong agar para seniman dan pegiat kebudayaan ini mampu mengembangkan kreasi sehingga karya seni mereka itu membawakan fungsi dakwah, membawakan nilai-nilai agama, sehingga karya seni itu sendiri menjadi dakwah untuk nilai-nilai agama,” pungkasnya.