Nasional

Kritik terhadap Hasil Survei: Metodologi Kurang Transparan, Sumber Pendanaan Kurang Terbuka

Sen, 18 Desember 2023 | 07:00 WIB

Kritik terhadap Hasil Survei: Metodologi Kurang Transparan, Sumber Pendanaan Kurang Terbuka

Ilustrasi (NU Online)

Jakarta, NU Online

Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo mengungkapkan sejumlah permasalahan yang muncul dalam hasil survei di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa perbedaan hasil survei bukan hanya terkait dengan metodologi, tetapi juga transparansi, dan pendanaan yang kurang terbuka.


Menurutnya, perbedaan hasil survei merupakan sesuatu yang wajar, bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di Amerika Serikat yang memiliki 60 lembaga survei. Namun, yang menjadi perhatian utama adalah kurangnya transparansi dalam beberapa aspek metodologi. Salah satunya adalah pengambilan sampel yang sering dilaporkan sebagai multistage random sampling tanpa rincian yang jelas.


"Kadang-kadang lembaga survei atau bahkan media melaporkan multistage random sampling, biasanya kan begitu, tetapi tidak pernah dijelaskan secara rinci multistage-nya bagaimana, berapa responden per RT, per RW, dan apakah mereka mengganti responden," ujarnya pada pada diskusi daring dengan tema Kritis Membaca Survei Politik yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jumat lalu.


Ia menambahkan desain 1.200 responden di atas kertas, akan sangat susah dalam realitasnya. Sementara itu menggunakan telepon, face to face pasti ada gap yang besar, antara apa yang kita rencanakan dan apa yang diperoleh. "Nah, itu juga tidak secara jernih dilaporkan," imbuhnya.


Wibowo mengungkapkan bahwa perbedaan dalam urutan pertanyaan dan boarding juga dapat mempengaruhi hasil survei, terutama jika beberapa pertanyaan kunci tidak diungkapkan secara transparan.


"Jadi kalau dua survei berjalan dengan metode sampling yang sama, tetapi urutan pertanyaannya berbeda, tentu hasilnya akan berbeda. Nah, kadang-kadang lembaga survei merilis hanya beberapa pertanyaan yang mereka seleksi, mereka nggak secara transparan membuka semua daftar pertanyaannya," jelasnya.


Ia mencontohkan, ketika bertanya soal kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi, tetapi sebelumnya bertanya soal kebebasan berpendapat dan soal MK, pasti hasil survei akan menempatkan kepuasan publik terhadap Jokowi lebih rendah daripada hasil survei lain yang menanyakan bansos sebelum pertanyaan itu.


"Pasti gitu, cuman kan nggak ada usaha untuk membuka itu kan. Jadi kita nggak pernah tahu urutan pertanyaannya sama atau nggak, oke atau nggak," paparnya.


Wibowo juga mengungkapkan kekhawatiran terkait pendanaan survei. Dengan biaya yang tidak murah, ia mempertanyakan kemampuan lembaga survei untuk mendanai sendiri survei yang melibatkan ribuan responden di seluruh Indonesia.


"Satu kali survei itu tidak murah, 1.200 responden tatap muka di seluruh Indonesia, sekarang 38 provinsi, pasti lebih dari setengah M budgetnya. Saya yakin pasti ada yang mendanai, tetapi kan di beberapa rilis tidak pernah keluar siapa yang mendanai, itu juga hal yang luput selama ini kita kritisi," tegasnya.


Selain itu, Wibowo menyoroti aspek bias yang mungkin muncul dalam hasil survei dan menekankan pentingnya transparansi dalam mengungkapkan potensi bias tersebut.


"Nah, kembali soal bias tadi, problemnya ketika berbeda, lalu transparan, orang akhirnya bisa melihat oh itu bias ke sana, karena yang mendanai si itu, oh itu bisa ke sana karena yang mendanai si itu, itu selesai menurut saya," ujarnya.


Ia mengajak jurnalis untuk lebih membantu publik memahami dinamika di balik lembaga survei. "Kita nggak usah debat panjang soal metodologi, kan ujung-ujungnya duit. Jadi menurut saya itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan secara ilmiah, kalau soal metode ilmiah sama kok, tekniknya pun sama, semua intinya sama, bagaimana mendapatkan responden yang diinginkan dengan budget serendah-rendahnya gitu. Jadi menurut saya ada banyak hal, kita harus membantu publik supaya paham apa yang ada di bawah lembaga survei itu," pungkasnya.