Nasional

MKMK Putuskan Saldi Isra Tak Terbukti Dugaan Konflik Kepentingan dengan PDI Perjuangan

Kam, 28 Maret 2024 | 23:18 WIB

MKMK Putuskan Saldi Isra Tak Terbukti Dugaan Konflik Kepentingan dengan PDI Perjuangan

Sidang Putusan Majelis Kehormatan dengan Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna, Kamis (28/3/2024). (Foto/Humas MKRI)

Jakarta, NU Online
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna memutuskan bahwa Hakim Konstitusi Saldi Isra tidak melanggar kode etik terkait dugaan konflik kepentingan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).


Kabar itu mencuat selepas bukti yang diajukan pelapor Andi Rahadian yang berasal dari pernyataan Ketua PDIP Sumatera Barat Alex Indra Lukman yang menyebutkan tiga nama dari tanah Minangkabau, salah satunya adalah Saldi Isra, yang dipertimbangkan serius untuk menjadi calon wakil presiden.


“Hakim terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, sepanjang terkait dugaan hakim terlapor berafiliasi dengan salah satu partai politik peserta pemilu, yaitu PDI Perjuangan,” kata Ketua MKMK dikutip Antara dalam sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Panel, Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis (28/3/2024).


Dalam pertimbangan yang dibacakan oleh anggota MKMK Ridwan Mansyur, majelis menilai bahwa dalil pelapor tidak memiliki dasar yang kuat karena hanya didasarkan pemberitaan media daring.


“Dengan demikian, dalil yang diajukan oleh Pelapor tidak cukup kuat untuk membuktikan afiliasi hakim terlapor dengan PDI Perjuangan terkait pencalonannya sebagai calon wakil presiden. Selain itu, hakim terlapor membantah dalil tersebut menjadi pertimbangan penting dalam menilai kebenaran dalil tersebut. Sehingga Majelis Kehormatan tidak menemukan cukup bukti untuk menyatakan adanya pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana yang didalilkan oleh Pelapor,” jelas Sekretaris sekaligus Anggota MKMK Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.


Selanjutnya, Ridwan juga menyatakan terhadap pendapat berbeda (dissenting opinion) dari seorang hakim dari Putusan Nomor 90/PUU-XXI/20023, Majelis Kehormatan berpendapat dalam hal ini berlaku asas res judacata pro veritate habetuur. Artinya, putusan hakim harus dianggap benar.


Ridwan menjelaskan bahwa dokumen pendapat berbeda hakim terlapor pada pokoknya terdapat dua isu hukum yang dibahas, yakni isu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hukum acara serta isu substansi dari perkara tersebut. Namun jika hakim ingin membahas dari sudut pandang berbeda, yang tidak terkait dengan pokok perkara semisal membahas prosedural hukum acara, hal demikian bukan suatu masalah.


“Sebab, pada hakikatnya pendapat berbeda seorang hakim merupakan bentuk independensi personal dan bagian dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, dalil para Pelapor terkait isu ini tidak beralasan menurut hukum dan harus dikesampingkan,” terangnya.