Nasional

Polemik Tiket Borobudur, Ahmad Suaedy: Jangan Atur Konservasi dengan Ukuran Uang

Sel, 7 Juni 2022 | 15:00 WIB

Polemik Tiket Borobudur, Ahmad Suaedy: Jangan Atur Konservasi dengan Ukuran Uang

Dekan Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Ahmad Suaedy. (ist)

Jakarta, NU Online

Kabar kenaikan tarif tiket untuk pelancong lokal maupun mancanegara ke Candi Borobudur menuai pro-kontra pelbagai kalangan, pengamat sekaligus Dekan Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Ahmad Suaedy menjadi salah satu yang kontra terhadap rencana itu.


Pasalnya, alasan untuk menjaga kelestarian Candi Borobudur yang digunakan pemerintah menurutnya kurang tepat lantaran mengembel-embelinya dengan bahasa uang/komersil. 


“Jangan atur konservasi dengan ukuran uang apalagi reservasi,” kata Suaedy kepada NU Online, Selasa (7/6/22).


“Kembalikan ke niat semula untuk konservasi dan itu penting, bukan soal harga,” katanya menambahkan.


Kemudian, lanjut dia, jika tujuannya agar wisatawan bisa memperoleh kenyamanan dan secara leluasa dapat menikmati keindahan Candi Borobudur, serta mencermati relief yang dipahat pada dinding candi. 


Maka, pemerintah perlu mengkaji ulang aturan tersebut, dań mempertimbangkan kenyamanan pengunjung juga kelestarian candi dalam jangka panjang.


“Karena kalau terlalu banyak pengunjung akan mengikis dan merusak. Dalam hal ini, ibadah bisa juga diatur demi konservasi itu,” terang dia.


Serupa dengan Suaedy, pakar hubungan antar agama Abdul Moqsith Ghazali juga dikagetkan dengan kabar kenaikan tarif tersebut. Dalam sudut pandangnya, kabar kenaikan itu akan melukai perasaan umat Budha yang biasa beribadah di sana.


“Bagaimana umat Budha yang tak semuanya kaya itu jika hendak beribadah di sana,” tulis dia lewat status di akun Facebooknya.


Menurutnya, cagar budaya yang sudah ditetapkan sebagai situs warisan dunia UNESCO itu kesakralannya bagi umat budha setara dengan Masjid Istiqlal bagi umat Islam.


“Bukankah bagi umat Budha, Candi Borobudur sama belaka dengan Masjid Istiqlal bagi umat Islam—sebagai tempat ibadah,” lanjut dia.


Tokoh Agama Budha, Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahethera dari Vihara Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Timur juga turut menyuarakan ketidaksetujuannya. 


Ia mengatakan bahwa umat Buddha dari kalangan rakyat kecil tidak mungkin bisa menjangkau harga tiket naik ke Candi Borobudur yang dibanderol Rp750 ribu per orang. 


Mereka tidak setuju karena biasanya Candi Borobudur dipakai beribadah oleh umat Budha. Dan merupakan situs terbesar di dunia. 


"Rakyat kecil, (umat Buddha pedesaan yang berada cukup banyak di Jawa Tengah) sampai meninggal dunia pun tentu tidak akan mampu naik ke atas candi untuk melakukan puja atau pradaksina karena harus membayar biaya yang sangat mahal bagi mereka," tutur Pannyavaro.


Di luar hal itu, ia tak mempermasalahkan untuk pembatasan kuota 1.200 orang per hari yang naik ke atas candi. Baginya tidak masalah jika umat Buddha harus mengantre untuk bisa naik ke Candi Borobudur. Sama halnya seperti beribadah haji ke Makkah. 


"Biarlah umat Buddha sabar menanti antrean bisa naik ke atas candi kita sendiri. Seperti halnya saudara-saudara Muslim yang juga sabar menanti antrian naik haji sampai beberapa tahun," ungkapnya.


Seperti diketahui, rencana peningkatan harga tiket naik Candi Borobudur disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, pada Sabtu (4/6/22) kemarin.


Saat menyampaikan wacana tersebut di kawasan Candi Borobudur, Luhut menekankan bahwa pembatasan pengunjung perlu dilakukan.


"Kenapa kita lakukan itu, karena rekomendasi dari UNESCO dan pakar, telah terjadi penurunan dan keausan batu (Candi Borobudur)," ucapnya.


Luhut memperkirakan tarif baru tiket naik Candi Borobudur berlaku mulai sebulan ke depan.


Pewarta: Syifa Arrahmah

Editor: Fathoni Ahmad