Nasional

Tanggapi Kasus Kekerasan Santri, RMI PBNU Desak Perbaikan Sistem Perlindungan di Pesantren

Sel, 27 Februari 2024 | 17:15 WIB

Tanggapi Kasus Kekerasan Santri, RMI PBNU Desak Perbaikan Sistem Perlindungan di Pesantren

Ketua RMI PBNU KH Hodri Arief. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH Hodri Arief menyayangkan kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan, khususnya di lingkungan pesantren. Ia mendesak adanya perbaikan sistem perlindungan dan pembinaan di pesantren. 


Hal tersebut diungkapkan sebagai respons atas terjadinya kasus kekerasan santri yang berujung maut menimpa Balqis Maula (14), bocah asal Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur. 


Korban yang tengah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Al-Ishlahiyah Kediri, Jawa Timur itu dilaporkan meninggal dunia dengan luka-luka di sekujur tubuh.


Kiai Hodri menegaskan bahwa pesantren memiliki ciri khas yang menekankan sejumlah hal. Di antaranya akhlakul karimah dan pendidikan karakter, sehingga kasus kekerasan santri di Kediri itu dinilai sebagai sebuah paradoks dan peringatan bagi dunia pendidikan pesantren. 


"Ciri khas pesantren yang menekankan pendidikan karakter, akhlak mulia, menjadi paradoks bagi dunia pesantren, dan ini harus menjadi warning untuk introspeksi dalam semua aspek proses pendidikan di pesantren. Baik terhadap para praktisi pendidikan maupun para pengasuh sendiri," kata Kiai Hodri kepada NU Online, Selasa (27/2/2024)


Kiai Hodri menegaskan, pesantren perlu melakukan introspeksi dalam semua aspek proses pendidikan. Ia menilai, terdapat dua faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pembenahan tersebut yakni dari sisi internal dan eksternal.


Pertama, internal yakni terkait dengan peningkatan pola pembinaan dan pendidikan akhlak serta pembentukan karakter.


"Pesantren perlu meningkatkan pola pembinaan dan pendidikan akhlak dengan memperhatikan secara jeli perilaku santri, tidak hanya dalam aktivitas belajar tetapi juga dalam pembinaan perilaku yang bersentuhan langsung dengan pembentukan karakter," tuturnya.


Ia menekankan, seharusnya pesantren bisa mengidentifikasi potensi perilaku menyimpang dalam berbagai hal. Selanjutnya, melakukan pembinaan sebagai upaya preventif dari tindak bullying dan persekusi.


Dengan kata lain, deteksi dini terhadap perilaku santri menjadi kewajiban. Menurut Kiai Hodri, hal itu memang membutuhkan kerja keras dan menjadi tanggung jawab utama pesantren. 


"Deteksi dini terhadap perilaku santri menjadi kewajiban. Ini memang membutuhkan kerja keras, dan ini core responsibility pesantren. Bahkan sebenarnya, dengan perkembangan perilaku sosial dan media sosial yang semakin kompleks,  pendidikan perlu dilakukan dengan pendekatan psikologis kepada para santri," paparnya.


Kedua, eksternal yakni yang berkaitan dengan sikap cerdas dan bijak dalam menghadapi perilaku sosial dan pergaulan dunia maya yang kompleks. 


Menurutnya, perilaku sosial dan pergaulan dunia maya yang begitu deras harus disikapi secara cerdas dan bijak agar para santri bisa menyadari hal-hal yang pantas ditonton atau ditiru, sekaligus bagian mana yang harus dihindari dan disadari bahwa itu tidak baik dan berbahaya. 


Selain itu, perlindungan terhadap santri menjadi fokus utama dengan pembinaan dan pengawasan yang lebih intensif dalam kegiatan sehari-hari.


"Perlindungan terhadap santri harus dinyatakan secara eksplisit oleh pengasuh, dan para santri harus merasa nyaman melaporkan segala bentuk intimidasi atau kekerasan kepada pihak yang berwenang di pesantren," jelasnya. 


Ia juga menekankan, pendidikan tidak semata merupakan tanggung jawab para pendidik baik ustadz maupun pengasuh, tetapi tanggung jawab semua pihak bersama-sama.