Nasional

Karyawan Swasta soal Tapera: Memberatkan, Pemerintah Terlalu Memaksakan Warganya

Ahad, 2 Juni 2024 | 08:00 WIB

Karyawan Swasta soal Tapera: Memberatkan, Pemerintah Terlalu Memaksakan Warganya

Ilustrasi perumahan rakyat. (Foto: Antara)

Jakarta, NU Online

Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang digagas pemerintah dikritik oleh sejumlah karyawan swasta, salah satunya Agus Soelaksono (30). Agus, karyawan perusahaan swasta di Jakarta, menilai pemerintah terlalu memaksakan warganya untuk mengikuti program ini sementara aturannya belum jelas.


"Kalau melihat dari rencana dan konsep jangka panjang, sebetulnya baik. Siapa yang tidak ingin punya rumah dengan bantuan pemerintah? Tetapi, proses potongan dan penyimpanan dana ini masih rancu," kata Agus kepada NU Online, Jumat (31/5/2024).


Eko (28) seorang karyawan swasta di Bekasi merasa berat jika gajinya harus dipotong sebesar 3 persen per bulan. Apalagi, saat ini ia harus menanggung banyak kebutuhan tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga keluarganya.


"Mungkin kalau perusahaan tidak begitu terasa dampaknya. Tapi buat saya, karyawan dengan gaji pas-pasan merasa sangat berat dengan adanya pemotongan 3 persen ini. Terlebih, implementasinya enggak bakal nambah gaji kan, jadi tetap dipotong 3 persen," tutur Eko.


Sementara itu, kebutuhan keluarga banyak. Pemerintah perlu mempertimbangkan Tapera ini pasalnya tidak semua orang menggunakan gajinya itu untuk keperluan sendiri.


"Ada yang membiayai keluarga, mungkin ada biaya untuk anak, atau orangtua yang masih harus dibiayai. Lebih baik memikirkan kesejahteraan pekerja dengan kenaikan gaji," jelas Eko.


Presiden Joko Widodo telah mengesahkan PP No. 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP No. 25 Tahun 2020 pada Senin (20/5/2024). Peraturan Pemerintah ini mengesahkan perubahan terkait beberapa ketentuan penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada PP No. 25 Tahun 2020.


Melansir dari laman web Komite Tapera Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.


Para pekerja yang termasuk ke dalam kategori peserta Tapera dapat mengajukan pembiayaan rumah ataupun tidak. Jika peserta tidak mengajukan pembiayaan, dana yang terkumpul akan dikembalikan setelah masa kepesertaannya berakhir (pensiun).


Besaran Potongan Tapera diberlakukan sebesar 3%  dari gaji dengan rincian 0,5% ditanggung perusahaan (pemberi kerja) dan 2,5% dipotong langsung dari gaji pekerja. Sementara untuk pekerja mandiri (freelance) wajib membayarkan 3% Tapera secara penuh.


Dana yang terkumpul dari pemotongan sebesar 3% tersebut nantinya akan dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Sebagai gambaran, upah minimum pekerja (UMP) Jakarta sebesar Rp5.067.381 akan dikenakan potongan Tapera 2,5% sebesar Rp126.685 setiap bulannya.


Pemerintah harusnya fokus kesejahteraan pekerja

Ketua Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN), Tyovan Ari Widagdo menegaskan, pemerintah seharusnya fokus pada peningkatan kesejahteraan para pekerja terlebih dahulu sebelum menetapkan program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).


"Pemerintah seharusnya lebih fokus pada upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja, seperti menaikkan upah minimum, memberikan perlindungan sosial yang memadai, dan menciptakan lapangan kerja yang berkualitas," katanya.


Tyovan menganggap, meskipun tujuannya mulia, yaitu membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memiliki rumah, implementasinya justru berpotensi menimbulkan masalah baru dan memberatkan masyarakat.


"Pemerintah sebaiknya menunda implementasi Tapera dan melakukan kajian yang lebih mendalam terkait dampaknya terhadap masyarakat dan perekonomian. Libatkan berbagai pihak, seperti serikat pekerja, akademisi, dan masyarakat sipil, dalam proses pengkajian ini," kata Ketua Lembaga Perekonomian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.