Opini

Peran NU untuk Perdamaian Dunia

Sel, 1 Agustus 2017 | 09:00 WIB

Peran NU untuk Perdamaian Dunia

Konferensi Internasional Bela Negara, Rabu-Jumat (27-29 Juli 2016). Foto: jatmanevent.id

Oleh Rijal Mumazziq Z

Dulu, KH Ahmad Sjaichu menggerakkan roda Konferensi Islam Asia Afrika, Maret 1965, kemudian putra tiri KH Abdul Wahab Chasbullah ini menjadi Sekjen Organisasi Islam Asia Afrika. Wadah internasional yang bagus ini mulai mengkerut saat Bung Karno tidak lagi menjadi presiden RI.

Berpuluh tahun kemudian, sayap internasional NU lintas batas digerakkan oleh Gus Dur melalui World Conference on Religion and Peace (WCRP). Beliau menjadi presidennya. Secara individu, Gus Dur dengan lincah bergerak ke berbagai jaringan di luar negeri. Dia memainkan pengaruhnya dan pemikirannya, serta memperluas jaringannya.

Sayap internasional NU mengepak lebih jelas di era KH Hasyim Muzadi dengan dibentuknya Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di berbagai negara. Kiai Hasyim kemudian menginisiasi pelaksanaan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) beberapa angkatan, yang menghimpun para ulama dari Sunni dan Syiah moderat untuk mewujudkan perdamaian dunia.

Pengganti Kiai Hasyim, KH Said Aqil Siroj punya wadah lain. Namanya International Summit Of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL). Acara yang mempertemukan ratusan delegasi ulama dari berbagai negara ini juga mencari format terbaik yang pas mewujudkan dunia yang berkeadilan. Di era Kiai Said pula, NU memiliki adik di luar negeri. Di Afganistan, ulama lintas etnis yang capek perang saudara memcari komposisi yang pas untuk mendamaikan konflik negaranya. Mereka studi banding ke PBNU, kemudian pulang ke negaranya dan memutuskan mendirikan Nahdlatul Ulama di berbagai provinsi. Mereka mengkloning NU di negaranya, menjadikan NU sebagai prototipe organisasi yang menebarkan kedamaian. NU Afganistan memang tidak punya kaitan struktural dengan PBNU, tapi NU dijadikan parameter organisatoris dan sumber inspirasi. Kini sudah berdiri 40 cabang NU Afganistan di berbagai distrik.

Dalam acara ISOMIL tahun 2016 itu, beberapa negara di Eropa juga tertarik mendirikan NU di negaranya masing-masing, sebagaimana yang telah dilakukan para ulama Afganistan.

Pada Juli 2016, Habib Luthbi bin Yahya menggelar Konferensi Internasional Bela Negara dengan mengundang unsur ulama dari berbagai kawasan. Ini even kedua yang digelar oleh Jamiyyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) yang dipimpin Habib Luthfi, setelah beberapa tahun sebelumnya menggelar Multaqa Shufi Al-'Alami.

Melalui berbagai perhelatan di atas, ulama NU tidak hanya berusaha menjadikan Islam sebagai ajaran universal, menggerakkan jejaring ulama internasional, serta berusaha mengerem laju radikalisme berbaju agama, melainkan lebih dari itu, para individu NU maupun secara organisatoris bergerak dinamis mewujudkan perdamaian dunia.

Jika di berbagai negara di Timur Tengah para ekstremis mengudang kawan kawan seideologinya, lalu penguasa mengundang sekutunya, sehingga baku bunuh semakin parah dan negaranya nyaris hancur dan penduduknya menjadi paria, maka para ulama Indonesia beda: mereka mengundang para ulama yang berusaha menggerakkan simpul-simpul perdamaian di negara masing-masing.

Penulis adalah dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya