Tokoh

Mengenal Lebih Dekat Kiai Ubaidullah Shodaqoh, Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah

Ahad, 10 Maret 2024 | 08:00 WIB

Mengenal Lebih Dekat Kiai Ubaidullah Shodaqoh, Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah

Rais Syuriyah PWNU Jateng, KH Ubaidullah Shodaqoh (kiri) (Foto: NU Online Jateng)

Jakarta, NU Online
KH Ubaidullah Shodaqoh kembali terpilih ketiga kalinya sebagai Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah masa khidmat 2024-2029 dalam Konferensi Wilayah (Konferwil) XVI PWNU Jateng di Gedung Aswaja, Pekalongan pada Rabu (6/3/2024).


Kiai Ubaidullah Shodaqoh lahir dan dibesarkan di lingkungan Pondok Pesantren Al-Itqon Tlogosari Wetan Bugen, Pedurungan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Ia merupakan anak kesebelas dari 14 bersaudara dari pasangan KH Shodaqoh Hasan dan Nyai Hikmah.

 

"Saya lahir dari keluarga guru Madrasah Diniyyah dan petani di wilayah Demak yang tahun 76 dimasukkan wilayah kota Semarang," ujar Kiai Ubaid kepada NU Online, Sabtu (9/3/2024).

 

Masa kecilnya banyak dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Al-Itqon yang didirikan oleh kakeknya KH Abdurrosyid. Sepeninggal KH Abdurrosyid, Pondok Pesantren Al-Itqon diteruskan oleh menantunya yaitu KH Shodaqoh Hasan.

 

"Dari Madrasah Diniyyah Ibtidaiyyah, Tsanawi dan Aliyah Salafiyyah Pondok pesantren ayah sendiri. Saya istifadah ke kiai-kiai pondok yang lain sambil sekolah SMP, SMA, itu yang saya lalui," terang Kiai Ubaid.

 

"Keluarga belajar di pondok pesantren tidak sekolah umum kecuali saya," imbuh kiai Ubaid menceritakan pendidikannya yang dihabiskan dari pondok ke pondok berlatar belakang dari asuhan ayahanda.

 

Kiai Ubaid pernah menamatkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi dan mengantongi gelar Sarjana Hukum Internasional. Namun, ia menemukan bahwa ilmu yang diperolehnya di pesantren lebih dalam daripada di perguruan tinggi.

 

"Ternyata hukum positif pidana perdata perdagangan dan lainnya itu dasar logika dan filosofisnya tak sedalam dan sedetail dengan ushul fiqih dan fiqih yang kami pelajari di pesantren. Lagian penerapannya hanya abal-abal saja. Maka saya coba-coba kayak apa Hukum Islam itu," kata kiai Ubaid.

 

Setelah menyelesaikan pendidikan tingginya, ia kembali ke pesantren dan menjadi guru Madrasah Diniyyah sambil berjualan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

 

"Pernah jualan kerupuk dan jajanan klethikan di pondok keluarga sendiri. Pokoknya cukup untuk mondokin anak-anak," ujarnya.

 

Karir organisasi
Kiai Ubaid pernah menjadi pembina Ansor di Kelurahan Tlogosari Wetan, Kecamatan Pedurungan Semarang. Selain itu, pernah menjadi Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pedurungan Semarang, Sekretaris Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) Jawa Tengah, dan Katib PWNU Jawa Tengah.

 

Tahun 2013, Kiai Ubaid terpilih menjadi Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah bersama KH Abu Hafsin sebagai tanfidziyah NU. Pada 2018 terpilih kembali menjadi Rais Syuriyah bersama KH Muzammil dan pada 2024 kembali terpilih menjadi Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah bersama Abdul Ghaffar Rozin atau Gus Rozin.

 

Kiai Ubaid memiliki visi untuk kemandirian NU Jawa Tengah dengan menentukan kebijakan jamiyyah; pembiayaan jamiyyah dan bertindak menuju maqashid sesuai dengan kebutuhan umat di Jawa Tengah. "Di sinilah kewibawaan dan fungsi-fungsi jam'iyyah bisa tercapai," katanya.

 

Aktif menyuarakan lingkungan

Selain aktif dalam dunia organisasi, Kiai Ubaid juga dikenal sebagai tokoh yang peduli terhadap lingkungan hidup. Ia mengadvokasi pertanian organik sebagai langkah untuk kembali ke alam dan menghindari konsumsi bahan makanan yang tidak sehat.

 

Dia menyampaikan, masyarakat tidak akan bisa membahas perkembangan teknologi informasi kalau kecerdasan anak bangsa menurun akibat konsumsi bahan makanan yang tidak baik.

 

"Sebab kandungan bahan-bahan kimia sintetis yang dapat merusak sel-sel tubuh kita. Karena itu PWNU Jawa Tengah mengajak petani untuk kembali ke alam dengan pertanian organik. Insyaallah sangat tepat," tegasnya.

 

Ia pun kerap menyuarakan isu lingkungan melalui media sosial X. Kiai Ubaid mengatakan sudah seharusnya sebagai pengurus NU responsif terhadap isu-isu sosial lingkungan dan lainnya yang itu berdampak pada masyarakat apalagi yang merugikan dan menindas.

 

"Bumi yang kita tempati ini pinjaman dari anak-anak, cucu-cucu dan generasi setelah kita. Kita sebagai santri keuntungan tidak hanya berupa materi, tapi keberkahan yang mengandung makna keuntungan dan kemanfaatan jangka panjang," tuturnya.


Baginya, kesejahteraan ekonomi yang hanya bersifat sementara dengan segala kemewahan tidak berarti apa-apa jika generasi berikutnya menderita dan bahkan jiwa raganya terancam di tempat yang seharusnya menjadi tempat mereka berlindung.

 

"Berapa persen sih keuntungan yang diterima masyarakat lingkungan? Bandingkan dengan kerusakan dan bahayanya. Bahaya dan kerusakannya jauh lebih besar ditinjau dari berbagai aspek," kata Kiai Ubaid.


Menyukai musik klasik
Kiai Ubaid tidak hanya dikenal sebagai tokoh yang aktif dalam menyuarakan isu lingkungan, tetapi juga memiliki minat yang mendalam pada musik klasik. Ketika ditanya mengenai kesukaannya pada musik klasik, ia dengan tegas menyatakan, "Suka kok ditanya alasannya. Kalau masih bisa menjawab alasannya itu enggak beneran suka," celetuknya.

 

Minatnya dalam musik klasik juga tercermin dari dukungannya terhadap putrinya yang belajar piano klasik sejak masih SMP. "Anak putri saya-seusia kelas SMP, minta masuk sekolah musik kelas piano klasik. Kira-kira itulah kesukaan bapaknya. Sebab anak adalah rahasia bapaknya," tuturnya.

 

Bentuk kepeduliannya terhadap isu lingkungan dan kesenian diwujudkan melalui pembentukan mimbar bebas yang rutin digelar di kediamannya setiap malam Senin Pahing.

 

"Saya punya forum mimbar bebas isinya para seniman, wartawan, akademisi, aktivis termasuk aktivis lingkungan," tandasnya.