Opini

Haji itu Arafah: Puncak Makrifah dan Penghambaan Manusia

Sab, 22 Juni 2024 | 10:00 WIB

Haji itu Arafah: Puncak Makrifah dan Penghambaan Manusia

Jamaah haji sedang wukuf di Arafah. (Foto: Kemenag)

Padang Arafah, di tempat inilah jutaan umat Islam berkumpul untuk melaksanakan salah atu rukun haji, yaitu wukuf. Arafah juga tempat mustajab untuk bermunajat dan meminta ampun kepada Allah swt. Di Arafah inilah dulu Adam melakukan i'tiraf (pengakuan) dosa kepada Allah, Sang Pencipta. Di tempat inilah dulu Ibrahim mengetahui bahwa mimpi menyembelih Ismail adalah wahyu dari Tuhannya. Di Arafah juga para Nabi dan kekasih Allah mampu mencapai puncak pengetahuan (ma'rifah).


Alkisah, Nabi Ibrahim diajari Malaikat Jibril tantang manasik haji. Jibril berkata; أأعرفتَ؟ (apakah kamu sudah tahu tata cara manasik?), Ibrahim menjawab; عرفتُ عرفتُ (ya saya sudah tahu). Sejak saat itulah tempat ini dikenal dengan nama Arafah.


Arafah tak sekadar padang sahara biasa. Ia adalah tempat bertuah. Idealnya, di tempat itulah puncak makrifat dan pengetahuan kehambaan seseorang dapat dicapai. Sebagaimana dulu para Nabi dan kekasih Tuhan mendapatkannya. 


من عرف نفسه فقد عرف ربه


"Siapa yang tahu hakekat dirinya, sungguh ia akan tahu tentang Tuhannya." 


Tuhan itu esa, maka pluralitas selain-Nya adalah niscaya. Tuhan itu Kuasa, maka selain-Nya pasti lemah. Tuhan itu Akbar, maka selainnya pasti kecil, ringkih tak berdaya. 


Jika kesadaran semacam ini didapatkan, maka manusia tak akan lagi merasa jumawa, tak merasa lebih mulia di atas yg lainnya. Tidak berlebihan jika isi pidato Nabi Saw sesaat setelah wuquf di Arafah adalah tentang kesetaraan dan persaudaraan sesama.


كلكم لآدم وآدم من تراب، لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأبيص على أسود، ولا لأسود على أبيض إلا بالتقوى.


"Kalian anak cucu Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, orang non-Arab atas Arab, atau orang berkulit putih atas kulit hitam dan sebaliknya kecuali atas dasar takwa (kebaikan hati dan perbuatannya)”.


Hadis di atas menegaskan bahwa parameternya adalah tingkat ketakwaan kepada-Nya, bukan ras, warna kulit, bahasa dan status sosial lainnya. 


Kesadaran sosiologis seperti ini adalah refleksi dari makrifat teologis yang paripurna. Karena itu, munajat terbaik yg dilantunkan oleh Nabi Saw dan para nabi sebelumnya saat wuquf di Arafah adalah pengakuan atas keesaan dan kekuasaan-Nya.


خير الدعاء دعاء يوم عرفة، وخير ما قلتُ أنا والنبيون من قبلي؛ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ لْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. رواه الإمام مالك.


"Sebaik-baik do'a adalah do'a pada Hari Arafah. Dan sebaik-baik perkataan yang aku ucapkan begitu juga para nabi sebelumku adalah: Laa Illaha Illallahu Wahdahu Laa Syariika Lahu, Lahul Mulku wa Lahul Hamdu Yuhyii wa Yumiitu wa Huwa 'ala Kulli Syai'in Qodiir (Tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekuti baginya. Kerajaan dan pujian hanyalah miliknya. Maha menghidupkan dan mewafatkan. Dan Dia berkuasa atas segalanya)." (HR Imam Malik)


Doa di atas berisi pengakuan atas keesaan dan kekuasaan Allah swt. Tidak berlebihan bila kunci keberhasilan haji terletak di Arafah, tentu dengan segenap maknanya. Al-Hajju 'Arafah. Haji adalah Arafah.


Muhammad Ulinnuha, Dosen IIQ Jakarta, Santri Tabah Kranji