Nasional

Pekerja Perempuan hingga Gen Z soal Tapera: Tambah Beban Pekerja dan Perusahaan

Jum, 7 Juni 2024 | 20:00 WIB

Pekerja Perempuan hingga Gen Z soal Tapera: Tambah Beban Pekerja dan Perusahaan

Ilustrasi perumahan subsidi. (Foto: pu.go.id)

Jombang, NU Online

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) mendapat respons kritis dari pekerja perempuan hingga generasi z atau Gen Z.


Anna Abdillah, salah satu pekerja di Kabupaten Jombang menyayangkan peraturan pemerintah tentang Tapera yang disebutnya aneh. Karena menurutnya program Tapera bukan sesuatu yang mendesak apabila dibebankan kepada seluruh pekerja tanpa terkecuali. Apalagi bagi pekerja yang sudah memiliki rumah atau sedang menyicil rumah.


"Aku kadang bingung, sebenarnya pemerintah ini bekerja buat kepentingan siapa?" ungkap Anna, Rabu lalu di Jombang.


Anna mengatakan, Tapera menambah beban pekerja dan perusahaan. Padahal program yang hampir sama yaitu Jaminan Hari Tua (JHT) sudah diberlakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ada juga sanksi bagi perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS Ketenagakerjaan. 


Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 46/2015 setiap karyawan yang menjadi peserta layanan JHT harus rela gajinya dipotong untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan. Besaran iuran yang harus dibayar yakni 5,7% dengan pembagian 3,7% perusahaan dan 2% pekerja dari gaji per bulan.


"Di JHT juga bicara Tapera. Kenapa tidak maksimalkan sesuatu yang ada. Logikanya, nabung kok dipaksa, iya kalau langsung dapat rumah kalau tidak, juga buat apa," jelasnya. 


Hal penting bagi pekerja dan pengusaha

Bagi Anna, dari pada pemerintah sibuk dengan Tapera, ada baiknya pemerintah mendukung ekosistem usaha yang sehat, perizinan usaha yang bebas korupsi, kemudahan dalam mendirikan usaha, gaji yang layak, Tunjangan Hari Raya (THR), pesangon pegawai, dan hal penting lainnya bagi pekerja dan pengusaha. 


"THR dan pesangon aja tidak layak dan perusahaan yang melanggar tidak ada sanksi atas nama kondusifitas lapangan kerja. Ini malah nambah aturan pekerja iuran 2,5 persen dan pemberi kerja 0,5 persen," imbuh ibu dua anak ini. 


Anna menambahkan, ada banyak hal di Indonesia yang jauh lebih penting untuk diselesaikan pemerintah dibanding mengurusi Tapera. "Mending negara fokus mengurusi yang urgent seperti kasus-kasus korupsi, pendidikan, kesehatan, pemerataan ekonomi, dan hak-hak dasar pekerja," ujarnya. 


Ziqri (22) juga mempertanyakan urgensi penerapan Tapera oleh pemerintah. Bahkan ia menyebut, Tapera sulit diterima oleh akal generasi muda. Karena bagi Gen Z, Tapera merupakan beban keuangan baru. Padahal baru proses membangun fondasi keuangan. "Tapera akan membuat generasi Z terjebak dalam sandwich generation," ungkap Ziqri.


Ironi lainnya, kata Ziqri, iuran Tapera baru bisa diambil apabila seseorang telah pensiun dengan batas umur 58 tahun atau apabila meninggal dunia. "Setelah daftar Tapera juga tidak bisa langsung digunakan," tandasnya.